Namaku Mega. Aku sudah menjadi guru selama hampir lima tahun, dan jujur ini bukan pekerjaan yang awalnya aku impikan. Dulu, cita-citaku jauh dari dunia pendidikan. Aku ingin jadi pekerja kantoran, konsultan lingkungan, bagian kesehatan ataupun berkutat dengan buku-buku terjemahan. Tapi, kehidupan seringkali memberi kejutan yang tak terduga. Sebelum lulus kuliah, aku terjebak dalam situasi di mana tawaran mengajar di sebuah sekolah menengah pertama datang padaku, dan tanpa terlalu banyak berpikir, aku menerimanya. Aku berpikir, “Kenapa tidak? Mungkin bisa buat sementara, sambil menunggu kesempatan lain.” Tapi, ternyata hidup memang suka bercanda. Apa yang awalnya cuma niat sementara, malah membawaku ke sebuah pengalaman yang ternyata mengubah hidupku. Dan di sinilah aku sekarang, lima tahun kemudian, masih berdiri di depan kelas, di sekolah dasar, menikmati setiap detiknya.
Awalnya, aku tidak berpikir bahwa mengajar bisa jadi sesuatu yang menyembuhkan. Aku selalu melihat pekerjaan ini sebagai sebuah kewajiban. Namun, perlahan-lahan, perspektifku mulai berubah. Aku mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang sangat menenangkan dan memulihkan dalam mengajar.
Ketika pertama kali masuk ke kelas sebagai guru, aku merasa campur aduk antara gugup, canggung, dan antusias. Anak-anak di depan mata begitu ceria, penuh energi, dan entah bagaimana caranya selalu menemukan alasan untuk menggangguku. Mereka berlarian, berbicara, dan kadang-kadang bertanya hal-hal yang menurutku aneh. Bayangkan saja, pernah suatu hari seorang muridku, Ilham, bertanya, “Ms Mega, kenapa burung bisa terbang, tapi ikan nggak?” Aku sampai bengong sejenak. Itu pertanyaan yang sederhana tapi entah kenapa sulit dijawab dengan cara yang bisa dimengerti oleh anak umur 6 tahun.
Namun, seiring waktu, aku mulai menikmati dinamika di kelas. Aku mulai memahami setiap karakter anak-anak. Ada Ilham yang selalu penasaran, sering bertanya hal-hal aneh, tapi ia adalah anak yang punya rasa ingin tahu luar biasa. Lalu ada Nisa, yang pendiam tapi sangat cerdas, sering kali menyelesaikan tugas sebelum aku selesai menjelaskan. Setiap anak punya keunikan yang membuat mereka begitu spesial di mataku.
Di balik keceriaan anak-anak, aku sadar ada banyak hal yang bisa dipelajari dari mereka. Mereka mengajarkanku tentang kesederhanaan, tentang bagaimana hal-hal kecil bisa membuat bahagia. Ketika aku sedang merasa lelah atau sedih, senyuman tulus mereka, canda tawa di kelas, dan tanya jawab yang kadang konyol, semua itu seperti memberikan energi baru. Aku merasa bahwa saat aku mengajar mereka, sebenarnya aku juga sedang belajar dan sembuh.
Tidak jarang, sebagai orang dewasa, kita terjebak dalam perasaan tertekan. Tuntutan hidup, masalah pribadi, atau bahkan rasa kesepian sering kali menghantui. Sebelum menjadi guru, aku juga sering merasa demikian. Kadang, rutinitas membuatku merasa hampa, seperti ada sesuatu yang hilang dalam hidupku. Namun, ketika aku mulai mengajar, perlahan-lahan perasaan itu berubah.
Mengajar membuatku merasa dibutuhkan. Setiap pagi, saat aku masuk kelas dan melihat wajah-wajah mungil penuh antusias, ada perasaan hangat yang menyelimuti hatiku. Mereka menunggu bimbinganku, dan itu membuatku merasa bahwa aku berperan penting dalam kehidupan mereka. Setiap kali seorang murid berhasil memahami pelajaran atau menunjukkan perkembangan, ada kepuasan batin yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Rasanya seperti ada celah dalam hatiku yang tertutup secara perlahan.
Ada satu momen yang benar-benar membuatku yakin bahwa mengajar adalah healing terbaik bagiku. Suatu hari, aku sedang mengalami masalah pribadi yang cukup berat. Aku ingat, pagi itu aku datang ke sekolah dengan hati yang berat, dan pikiran yang kacau. Aku hampir tidak punya tenaga untuk tersenyum, apalagi mengajar. Namun, di tengah pelajaran, seorang muridku, Cherish, tiba-tiba memberikan bunga kertas yang ia buat sendiri. “Ini untuk Ms, biar Ms senyum lagi,” katanya dengan polos.
Aku terdiam sejenak. Bunga kertas yang sederhana itu, yang dibuat dengan tangan mungilnya, tiba-tiba membuatku merasa sangat terharu. Di situ aku menyadari, bahwa terkadang, penyembuhan datang dari hal-hal kecil yang tidak kita duga. Dari perhatian tulus seorang anak, dari interaksi sederhana yang sering kali kita anggap remeh.
Sebagai guru, kita sering kali berpikir bahwa kitalah yang akan memberikan pelajaran kepada anak-anak. Namun, sebaliknya, justru sering kali kita yang belajar banyak dari mereka. Anak-anak memiliki cara yang sangat unik dalam melihat dunia. Mereka tidak terjebak dalam rumitnya kehidupan seperti orang dewasa. Mereka hidup di momen sekarang, menikmati setiap detik dengan sepenuh hati, dan selalu punya cara untuk melihat sisi positif dari segala sesuatu.
Dari mereka, aku belajar untuk lebih sabar. Ada hari-hari di mana aku harus mengulangi penjelasan yang sama berkali-kali. Ada saat-saat di mana aku harus menghadapi anak yang keras kepala dan sulit diatur. Namun, dari setiap tantangan itu, aku justru belajar bagaimana mengelola emosiku. Aku belajar bahwa terkadang, cara terbaik untuk mengatasi masalah adalah dengan melembutkan hati, bukan mengeraskannya.
Mengajar juga mengajarkanku tentang rasa syukur. Anak-anak sering kali merasa sangat bahagia dengan hal-hal sederhana. Mereka bisa tertawa hanya karena berhasil menyelesaikan soal matematika, atau merasa bangga karena berhasil menggambar sesuatu yang menurut mereka indah. Dari mereka, aku belajar untuk lebih menghargai pencapaian kecil dalam hidupku.
Sekarang, setelah hampir lima tahun mengajar, aku bisa mengatakan dengan yakin bahwa mengajar adalah salah satu bentuk healing terbaik. Setiap kali aku merasa stres, atau sedang menghadapi masalah, masuk ke kelas dan berinteraksi dengan murid-muridku selalu menjadi pelipur lara. Melihat perkembangan mereka, tawa mereka, dan bahkan mendengar celotehan lucu mereka, semua itu selalu memberikan energi positif yang menyembuhkan.
Mengajar mengajarkanku untuk lebih banyak bersabar, lebih banyak bersyukur, dan lebih banyak memberi. Dan di balik semua itu, aku mendapatkan penyembuhan untuk diriku sendiri. Siapa sangka, pekerjaan yang dulu aku anggap sementara, kini menjadi salah satu hal yang paling berarti dalam hidupku. Dan aku rasa, dalam mengajar, aku menemukan jalan untuk menyembuhkan luka-luka kecil dalam hatiku, dan merasakan kebahagiaan yang tulus.
Jadi, jika ada yang bertanya, apakah mengajar itu melelahkan? Tentu saja, ada kalanya sangat melelahkan. Tapi, di saat yang sama, mengajar juga sangat menyembuhkan. Itu adalah healing terbaik dan terhemat yang pernah aku temukan.