Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), empati adalah kemampuan untuk memahami dan merasakan apa yang dialami orang lain. Empati juga dapat diartikan sebagai kesadaran mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Empati merupakan sikap yang baik dan seharusnya dimiliki oleh seseorang. Orang yang memiliki sifat empati biasanya lebih peka dan peduli pada orang-orang di sekitarnya.
Menurut Rahmah (2012) saat menginjak 4 tahun minat anak terhadap teman-teman sebayanya mulai berkembang. Anak kini tidak lagi hanya bermain dengan sang ibu atau keluarganya dirumah, mereka mulai mengenal teman sebayanya, minat atau keinginan untuk memiliki teman kini mulai berkembang bahkan sudah mampu memilih siapa teman dekatnya. Kemampuan sosialisasi anak semakin meningkat meskipun masih dalam taraf yang sederhana, anak kini mulai dapat merasakan apa yang dirasakan oleh temannya atau dengan kata lain mulai dapat berempati. Saat ada temannya menangis karena terjatuh, anak berusaha menolong dengan cara menemaninya atau mengantarnya pulang, meniup luka temannya atau coba menenangkan tangisan temannya. Selain itu, kegiatan bermain bersama teman sebaya juga menjadi momen penting bagi anak untuk belajar memahami perasaan orang lain. Misalnya, ketika seorang temen jatuh dan menangis, anak-anak usia 4-5 tahun mulai menunjukkan perhatian dengan mendekati dan bertanya “kamu kenapa?, apanya yang sakit?” lalu melaporkan hal tersebut kepada guru agar temannya dicek dan diberi obat.
Sikap empati itu sangat penting bagi kemampuan interaksi anak dengan orang banyak. Dengan anak dilatih bersikap empati, maka anak akan mampu untuk memahami perasaan orang lain, menerima sudut pandang orang lain, serta menghargai berbagai perbedaan dalam cara memahami perasaan orang lain terhadap suatu permasalahan. Proses perkembangan empati pada anak usia 4-5 tahun sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar, terutama keluarga dan teman sebaya. Ketika anak melihat contoh nyata bagaimana orang tua atau pengasuh mereka berinteraksi dengan penuh perhatian kepada orang lain, anak akan lebih mudah meniru sikap tersebut.
Namun, meskipun empati mulai muncul pada anak usia ini, anak-anak masih cenderung lebih fokus pada diri mereka sendiri dan memiliki pemahaman yang terbatas tentang perasaan orang lain. Mereka mungkin merasa kesulitan untuk melihat suatu situasi dari sudut pandang orang lain dan lebih sering bereaksi berdasarkan bagaimana perasaan mereka sendiri. Sebagai contoh, anak yang merasa lapar mungkin tidak langsung menyadari bahwa temannya juga merasa lapar atau sedang membutuhkan perhatian. Oleh karena itu, penting bagi orang tua dan pendidik untuk memberi arahan dan membimbing anak-anak dalam memahami emosi dan kebutuhan orang lain.
Melalui penerapan yang konsisten, kemampuan empati anak usia 4-5 tahun akan semakin berkembang. Memberikan pujian ketika mereka menunjukkan perhatian terhadap orang lain, atau membantu mereka mengidentifikasi perasaan dalam situasi tertentu, dapat memperkuat pemahaman mereka tentang pentingnya berbagi perhatian dan kasih sayang. Dengan bimbingan yang tepat, anak-anak pada usia ini dapat mulai belajar untuk lebih peka terhadap perasaan orang lain, membangun dasar yang kuat untuk hubungan sosial yang sehat di masa depan. Secara keseluruhan, meskipun empati pada anak usia 4-5 tahun masih dalam tahap perkembangan, ini adalah periode penting dalam pembentukan karakter sosial mereka. Dengan pembelajaran yang dilakukan secara berkesinambungan, anak-anak akan lebih siap untuk menunjukkan empati secara lebih mendalam dan relevan dalam interaksi mereka di berbagai situasi kehidupan.
Saat ini, saya melihat rasa empati anak-anak di usia mereka semakin berkembang. Hal ini terlihat dari seorang anak bernama Ammar, yang selalu mengingatkan apabila ada barang temannya yang tertinggal atau terletak tidak pada tempatnya. Bahkan, ia lebih memilih untuk meletakkan barang tersebut sesuai dengan tempatnya daripada harus memanggil temannya untuk meletakkannya sendiri.
Saya secara pribadi pun sering mendapatkan empati dari mereka. Pernah suatu waktu, saya dicubit oleh salah satu anak yang sedang merasa kesal dengan temannya. Saya mencoba menenangkan anak tersebut dengan mengajaknya menjauh dari teman-temannya dan mendengarkan cerita kesalnya saat itu. Ketika bercerita, rasa kesal itu kembali muncul pada sang anak, dan spontan ia mencubit tangan saya dengan tenaga yang cukup ekstra. Saat itu, saya mengeluarkan ekspresi dengan pura-pura menangis di depan sang anak, dan ia hanya terdiam. Sedangkan, dari kejauhan muncul anak lain bernama Nuno yang berjalan menuju saya. Ia bertanya, “Ms, mana yang sakit?” sambil mengecek tangan saya yang memerah karena cubitan tersebut. Siapa sangka, ia meniup tangan saya dengan ekspresi khawatir saat melihat tangan saya yang memerah itu. Manis sekali, anak berusia 4 tahun memberikan rasa empati kepada orang dewasa.
Sikap empati seperti ini tentunya berperan penting dalam perkembangan sosial anak-anak, karena mereka mulai belajar memahami perasaan orang lain dan bertindak dengan penuh perhatian. Apalagi, reaksi spontan Nuno yang menenangkan saya menunjukkan bahwa mereka dapat merasakan dan merespons rasa sakit atau ketidaknyamanan orang lain.
Melihat rasa empati mereka yang muncul dengan signifikan, memberi kesadaran kepada saya untuk turut andil dalam perkembangan tersebut. Saat ini, saya selalu melibatkan mereka dalam banyak hal. Misalnya, ketika ada teman yang tidak mau mengikuti kegiatan pembelajaran, anak yang lain saya arahkan untuk mengajak temannya duduk dan mengikuti pembelajaran. Dari sikap tersebut, saya dapat melihat bahwa anak-anak yang diberi rasa empati langsung dari teman sebaya mereka lebih senang dan merasa diperhatikan oleh teman-temannya, sehingga mereka langsung mau melakukan hal yang sebelumnya tidak mau mereka lakukan.
Rasa empati anak usia 4-5 tahun memberikan dampak besar sekaligus jawaban dari permasalahan saya belakangan ini. Saya merasa kesulitan saat menghadapi salah satu anak yang tidak pernah mau ikut berdoa pagi sebelum memulai pembelajaran. Ia lebih memilih berkeliling kelas atau mengelilingi teman-temannya yang sedang berdoa daripada harus ikut berdoa. Berbagai kesepakatan telah saya berikan kepada anak tersebut. Misalnya, saya berkata, “Kakak, ayo kita berdoa,” namun jawabannya selalu spontan seperti biasanya, “Nanti ajalah, Ms.” Ketika saya terus mengajaknya, ia akan marah dan berteriak. Kesepakatan lainnya yang pernah saya tawarkan “Kakak, ayo berdoa. Ms bawa brownies, nanti Ms berbagi ke kakak setelah berdoa.” Namun, jawabannya selalu diluar harapan saya, “Tidak mau, Ms, banyak gulanya nanti.” Entah darimana jawaban-jawaban tersebut ia dapatkan, namun jawaban spontan anak tersebut beberapa kali membuat saya kehilangan harapan untuk membuatnya konsisten ikut berdoa sebelum memulai pembelajaran.
Seperti biasanya, kali ini anak tersebut tidak mau ikut berdoa dan tetap asyik bermain ayunan di taman bermain sekolah. Pagi itu, saya sangat ingin melihat semua anak berdoa, hingga terlintas di benak saya untuk mengajukan pertanyaan, “Siapa yang mau mengajak (nama anak) berdoa?” Dengan semangat yang berasal dari anak-anak usia 4-5 tahun, mereka langsung menjawab, “Saya, Ms… Saya, Ms… Saya, Ms!” Semua anak pun menunjuk tangan. “Oke, teman-teman, boleh hampiri dan ajak temannya berdoa ya. Lakukan dengan lembut ya, teman-teman,” saya mencoba mengarahkan anak-anak tersebut. Dan, yap, cara itu berhasil! Anak yang sebelumnya tidak mau ikut berdoa, dengan ajakan baik dari teman-temannya, langsung duduk dan ikut melafalkan doa dari awal sampai akhir.
Rasa empati yang muncul dari anak usia 4-5 tahun ternyata memberikan solusi terbaik dari rasa cemas saya saat ini. Sejak hari itu, saya selalu mengarahkan mereka untuk mengingatkan teman-temannya dengan cara yang baik. Rasa empati tersebut sekarang muncul lebih sering dibandingkan tiga bulan sebelumnya. Bahkan, ketika kegiatan di luar lingkungan sekolah, kemampuan mereka untuk mengingatkan teman-temannya dengan rasa empati dilakukan dengan sangat baik.
Rasa empati pada anak usia 4-5 tahun memberikan dampak positif yang sangat signifikan dalam perkembangan sosial dan emosional mereka. Empati yang mereka tunjukkan dapat mempererat hubungan persahabatan, membantu mereka berinteraksi dengan lebih baik, dan mengurangi konflik di antara teman sebaya. Selain itu, anak-anak yang memiliki rasa empati cenderung lebih mudah diajak bekerja sama dan lebih perhatian terhadap kebutuhan orang lain. Dengan berkembangnya empati sejak dini, mereka belajar nilai-nilai kebaikan, tolong-menolong, dan menghargai perasaan orang lain, yang sangat penting bagi pembentukan karakter positif di masa depan.