Bukan Untuk Sederet Angka – oleh Ms Rizky

33

Sang ujung tombak pendidikan, guru selalu punya cerita tersendiri. Dari dulu, peran “Guru Ngaji” sangat penting dalam membangun generasi berakhlak Islami ataupun Qur’ani. Mereka menjadi role model penting dalam dunia pendidikan, utamanya di Indonesia.

Mereka yang memberikan seluruh tenaga, pikiran, waktu hingga harta untuk orang lain tak pernah memikirkan punya gaji besar. Keikhlasan menjadi ruh perjuangan. Gaji atau upah tidak terlalu mereka pikirkan. Yang lebih mereka inginkan adalah balasan Allah di hari akhirat kelak.

Begitulah orang beriman, disertai sabar dalam ujian, lalu syukur dalam kenikmatan. Allah hadiahkan hati yang lapang bersama kesulitan.

Perjuangan guru dalam mengajar tak jarang membuat kagum. Hal ini lah yang ditunjukkan dari perjuangan seorang guru di pedalaman Labuhan Batu, Sumatera Utara.

Atas dasar keterpanggilan hati, ummi Siti -panggilan akrab Siti Amri- memulai tonggak awal mengabdikan diri sebagai guru di MDTA (Madrasah Diniyah Takwiliyah Awaliyah) Taqwa Sidomakmur, Desa Sei Jawi-Jawi, Kecamatan Panai Hulu, ibu kota Kab. Labuhan Batu sejak enam tahun belakangan. Dengan modal berani, saat mengikrarkan diri menjadi guru madrasah, ummi Siti mengaku prihatin dengan anak-anak usia sekolah yang kurang mendapatkan perhatian di bidang agama. Ummi Siti khawatir semakin tergerusnya nilai-nilai Islam di desanya.

“Saya mengajar di sini sejak enam tahun lalu, dan masih akan tetap melayani sampai waktu meminta saya untuk berhenti,” terang ummi Siti.

Belum lagi bagaimana sulitnya hidup di wilayah pedalaman. Ummi Siti mengaku dilingkupi keterbatasan, sarana maupun prasarana. Untuk itu, ummi Siti bersama rekan pengajar berupaya memanfaatkan madrasah yang ada di kampungnya, menyelenggarakan pendidikan dan pembinaan bagi generasi muda. Dalam sepekan, seperti sekolah pada umumnya, madrasah ini merutinkan kegiatan belajar-mengajar setiap hari. Mulai pukul 14.00 sampai 17.00 WIB sore hari terlihat puluhan anak hadir belajar.

Saat berbincang dengan ummi Siti, ternyata sejarah madrasah yang diberi nama MDTA Taqwa Sidomakmur itu luar biasa. Berangkat dari problematika kekhawatiran orang tua terhadap minimnya pelajaran agama Islam yang anak-anaknya dapatkan. Bersama warga masyarakat setempat, beberapa guru di madrasah ini bertahap bahu-membahu membersamai proses pembangunan. Misinya, menjaga aqidah anak-anak muslim. Alhamdulillah semua sepakat.

 Awal pendirian madrasah keadaannya masih sangat memprihatikan. Atapnya terbuat dari tepas, dinding kelasnya diberi sekat tripleks sebagai tanda batas ruang satu dengan ruang lainnya. Sekilas diperhatikan tidak begitu menarik dipandang mata, meja dan kursinya sebagian tak layak pakai. Seiring berjalannya waktu, keadaan madrasahnya mulai terperbaiki. Perlu untuk diketahui, saat ini, madrasahnya masih butuh satu ruang belajar lagi.

Untuk sampai di tempat mengajar, ummi Siti biasa menempuh perjalanan sekitar satu setengah kilometer dengan menggunakan sepeda motor. Melewati jalan yang sempit dan berkelok-kelok. Butuh waktu 12-17 menit untuk sampai di sana. Tak terkecuali saat musim hujan seperti sekarang ini. Jalanan licin, lumpur dan menyebabkan motor mogok adalah sedikit dari banyaknya tantangan yang dihadapi ummi Siti. Kondisi sekolah yang terbatas dengan segala fasilitas, sarana mengajar, bahan atau buku ajar lainnya, tetapi bukan persoalan bagi ibu yang kini dikaruniai 3 orang anak ini.

Karena terbatasnya jumlah tenaga pengajar, terpaksa ummi Siti harus menanggungjawabi banyak pelajaran. Diantaranya, belajar Arab Melayu, bahasa Arab, Nahwu, Shorof. Ummi Siti juga ingin membekali muridnya dengan akhlak mulia. Seperti, membiasakan mereka shalat lima waktu dan shalat sunnah serta menghafalkan Al-Qur’an. Tidak dipaksa, tapi antusias anak-anak luar biasa menyambut pelajaran yang diberikan. Dari awalnya terhitung jari, Alhamdulillaah, kini murid mengaji di madrasah ini berjumlah kurang lebih 40-an anak.

“Beginilah kegiatan di sini. Meski lokasi sempit dan tenaga pengajar terbatas, Alhamdulillaah lagi atas izin Allah kami bisa mengurus anak-anak mengaji ini. Mereka senang, kami lebih senang,” itulah ungkapan yang disampaikan ummi Siti, ketika saya menuliskan kisah ini.

Siang itu seperti biasa, sebelum kelas dimulai, anak-anak berlarian menyambut ummi Siti dengan bahagia. Satu persatu menyalami para guru. Dari hal kecil itulah anak-anak mendapat ‘value’ betapa pentingnya menghormati yang lebih tua. Terlihat tidak semua anak mengenakan seragam madrasah.

Ummi Siti juga menambahkan, “Untuk cara mengajar, saya memposisikan diri tidak hanya sebatas pengajar, tetapi lebih sebagai orang tua anak-anak. Tak jarang, mereka selalu menanti saya setiap hari. Semangat saya membuncah. Meski saya orang tak berilmu tinggi dan saya juga bukan sarjana”.

Sebuah pencapaian yang luar biasa bagi ummi Siti. Pasalnya, salah satu muridnya yang bernama Fatmatul Husnah Harahap (10) menoreh prestasi yang membanggakan. Setiap usai sholat ia selalu membaca Al-Qur’an. Bukan hanya membaca Al-Qur’an, menghafalkannya sudah menjadi kebiasaan rutin. Itulah yang ditanamkan oleh ummi Siti kepada murid-muridnya.

“Saya membaca Al-Qur’an tiap selesai sholat kak, waktu belajar di ngaji juga baca Qur’an” celotehnya via telepon.

Husnah adalah anak yang baik, pintar dan pandai bergaul dengan temannya. Sehari-hari, setiap pulang sekolah, ia langsung membantu ibunya, dan menjaga adik. Ia juga satu dari banyaknya murid yang sering terlibat dibeberapa perlombaan di sekolahnya.

Agar anak-anak semakin bersemangat dan percaya diri, murid binaannya kerap kali diikutsertakan dalam lomba-lomba keagamaan. Tak jarang, muridnya juara dan lolos ketingkat kabupaten. Uniknya, karena perjalanan darat ke kabupaten sangat jauh, muridnya melewati perjalanan laut. Menggunakan transportasi perahu motor karena medan yang cukup jauh.

Di sini saya coba menggali, “apa yang membuat ummi Siti bertahan untuk mengajar di madrasah ini?,” jawab ummi Siti singkat: “Saya takut menyesal menyia-nyiakan kesempatan untuk berbuat baik. Islam mengajarkan saya bersyukur atas pemberian-Nya. Bertahan dalam situasi yang Allah amanahkan”.

Niat tulusnya mengabdi tidak pernah goyah meski menerima honor yang kecil. Baginya, membuat anak-anak bisa terus mengenyam pendidikan lebih penting dari sekadar imbalan. Menyinggung soal honor guru di masa sulit sekarang ini, sudah bukan rahasia lagi, guru-guru di pedalaman sering tak mendapatkan gaji. Padahal, kalau bukan karena jasa seorang guru, tidak ada yang namanya peradaban. Salah satunya, begitulah yang dirasakan ummi Siti dan beberapa guru lainnya.

“Gaji guru hanya 300 ribu rupiah perbulan. Kadang mandek, tidak gajian sampai 3 bulan karena orang tua anak-anak nunggak bayar SPP. In syaa Allah kami ikhlas yang penting anak-anak mau belajar. Minimal anak-anak mampu membaca Al-Qur’an dan terjaga akidahnya. Inshaa Allah pahala yang terus mengalir menjadi amal jariyah untuk menolong kami di akhirat nantinya,” kenang ummi Siti.

Kondisi wali murid juga memprihatinkan. Ekonominya pas-pasan. Umumnya mereka adalah pekerja buruh tani lepas di ladang tanah milik tetangga. Ada juga sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit. Diberi upah 40-70 ribu per harinya. Kebanyakan, penghasilan mereka hanya cukup untuk makan sehari-hari.

Walau berada disituasi yang sulit, anak-anak tak putuskan untuk semangat menghafal, memuroja’ah, dan berprestasi. Bahkan beberapa anak yang membantu orang tua bekerja pun mereka selipkan beberapa buku di dalam tas dan menyempatkan diri untuk membaca.

Tantangan yang ummi Siti dan guru lainnya hadapi luar biasa, termasuk minimnya perhatian terhadap kesejahteraan mereka. Kata ummi Siti, sering guru-guru di MDTA berhutang di warung, untuk hanya sekedar membeli bensin motor. Setelah gajian baru bayar. Seolah tak kekurangan ide, disamping mengajar, sesekali ummi Siti kerap berburu menjadi buruh kupas pinang.

Dari ceritanya itu, ummi Siti nampak sekali ingin menunjukan bahwa dalam perjuangan mengabdikan diri untuk mencerdaskan anak bangsa, sesulit apa pun rintangannya, pertolongan Allah itu nyata.

Meskipun demikian, ummi Siti berharap, semoga Allah memberikan kekuatan serta keistiqomahan bagi para guru di pedalaman serta menguatkan niat dengan tulus dan ikhlas.

Bagi ummi Siti tak ada yang lebih mengharukan, di saat para anak didik bisa menjadi insan yang berguna bagi sesama. Generasi ini tidak hanya butuh pengetahuan, tapi juga pendidikan karakter.

Mereka yang hanya mengambil sedikit untuk diri, lalu menyerahkan sisanya pada Ilahi. Memohon agar Allah terima segala kelelahannya, agar Allah terima setiap amalnya, agar Allah apresiasi setiap bulir keringatnya.

Siapa menolong agama Allah, Allah pasti akan menolongnya,” tegas ummi Siti.

Jika hidup adalah perjalanan, jangan lupa membawa bekalnya. Semoga semua perjalanan kita dalam rangka menuju-Nya. Jangan patah semangat, teruslah menebar manfaat.

Panjang umur guru-guru berdedikasi yang hatinya tulus mengembangkan pendidikan untuk generasi Indonesia. Semoga kisahnya menjadi inspirasi bagi kita semua. Aamiin.

Helping people live a better life!