CEKRAK-CEKREK UNTUK ANAK-ANAK* – Oleh Mr Titan

33

          Saya pengajar Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia, “Selalu membosankan, Pak.” kata salah satu murid. Murid saya tidak salah. Sewaktu saya sekolah pun guru Bahasa Indonesia hanya fokus pada ‘teks’—seakan-akan bahasa selalu berkaitan dengan teks. Padahal bahasa berhubungan dengan segala hal: musik video, gim, lukisan, bencana alam, robot, gawai, mamalia, film dan lainnya. Semua hal yang saya sebutkan akan kembali pada ‘teks’—sebab bahasa sebagai alat komunikasi/informasi. Namun ketika di sekolah, saya merasa bahwa anak-anak harus dipantik oleh yang ‘bukan teks’ terlebih dahulu, alih-alih langsung memberikan atau menginstruksikan untuk memproduksi teks. Seringkali saya melihat murid yang kebingungan ketika berhadapan dengan instruksi seperti ini: tuliskan puisi bertema air atau tuliskan cerita pendek bertema batu atau tuliskan esai bertema pasir atau atau lainnya… Mungkin mereka kebingungan karena instruksi itu diberikan ketika mereka duduk rapi di dalam kelas, dengan meja-kursi, dengan guru di depan mereka. Berbeda hasilnya, mungkin, jika mereka belajar di luar kelas seraya tangannya basah kena air, memukul-mukul batu atau bermain pasir di lapangan sekolah—seraya suara burung atau angin datang atau alam bergerak bersama diri mereka.

          Saya pengajar Bahasa Indonesia. Ketika mengajar di kelas 7 SMP materi Teks Deskripsi. Saya langsung berpikir: dengan cara apa saya memantik mereka? Pada pertemuan 1, saya menjelaskan pengantar soal Teks Deskripsi. Bahwa Teks Deskripsi itu dekat dengan keseharian, tanpa sadar kita telah mendeskripsikan sesuatu demi kepentingan tertentu: memberitahu informasi, menuliskan imajinasi dan bercerita dengan kreatif. Pertemuan 2, saya membebaskan anak-anak mendeskripsikan benda-benda di sekitarnya: tas, tumblr, pensil, pena, papan tulis, dinding dan lain sebagainya. Anak-anak mencoba menjelaskan bentuk fisik, aroma, tekstur, fungsi, rasa dan lain sebagainya. Mereka bergerak di antara pengalaman dan percobaan. Pertemuan 3, anak-anak melihat sekaligus menafsir lukisan realis dan surealis. Di sini kemampuan imajinasi digunakan dengan sangat baik oleh mereka. Membayangkan sesuatu, entah itu dialog, konflik atau peristiwa. Mereka seperti masuk ke dalam dunia seniman yang luas dengan interpretasi yang asik.

           Pada pertemuan 4, mereka memotret subjek-objek di sekitar sekolah lalu menuliskan teks yang berkaitan dengan foto yang telah dipotret. Pada momen kali ini, anak-anak membawa gawainya masing-masing. Mereka menggunakan kamera melalui gawai. “Cari benda yang menarik buat kamu atau momen yang menurutmu puitis. Gunakan teknik-teknik foto yang kamu lakukan sehari-hari…” kata saya. Saya membebaskan mereka untuk mencari subjek atau objek foto. Mereka bergerak bebas ke sana ke mari. Saya memantau dari jauh.

           Pada momen ini anak-anak mengalami sekaligus berpikir: subjek-objek apa yang akan saya potret, sebab foto mirip seperti puisi yang sifatnya ‘fragmen’—hanya potongan peristiwa—kita tidak bisa memotret atau membicarakan sesuatu yang kompleks, karena kita hanya mengambil yang ‘sepotong’ itu, kita tahu bahwa itu ‘penting’ setidaknya buat kita. Dunia dalam kamera adalah dunia yang sulit terulang, sekali ‘cekrek’ berbeda dengan cekrak-cekrek selanjutnya—sebab waktu berjalan, cahaya berubah, subjek-objek berpindah dengan sendirinya dan kita, manusia, terpana dengan laju waktu yang begitu cepat. Semua hal itu bergerak dalam fotografi bagi saya, sang pemotret harus sadar dengan dirinya dan kameranya. Anak-anak saya di kelas Bahasa Indonesia bergerak di ranah-ranah seperti itu. Mereka tidak bergerak melalui teks, mereka bergerak melalui visual yang dekat dengan dirinya, dekat dengan pagi-siang-sorenya di sekolah. Foto Akmal di atas menjelaskan pada kita: bagaimana tanah dan rumput bila diperdekat, setiap hari kita menginjak rumput, memegang tanah, tapi apakah kita tahu bagaimana bentuknya? Hewan-hewan apa yang tinggal di sana, Akmal [kelas 7 SMP Azzakiyah Islamic Leadership] setidaknya menjelaskan itu pada kita. Tanah dan rumput seringkali menjadi latar fabel, film animasi dan pertunjukan buat anak-anak. Akmal bergerak melalui foto yang dekat, mungkin karena dia ingin menggapai detail.

           Berbeda dari Akmal, foto-foto Bagus ingin menangkap momen. Bagus menunggu sesuatu terjadi. Air yang jatuh menghasilkan bentuk yang harus segera dicekrek. Ini menarik karena hal-hal kecil ditangkap dengan baik. Bagus menulis: pipa yang kotor dan berlumut. kecipak air. tangan menjadi lengket. Momen ini, bagi saya, puitis. Sulit ditangkap mata kamera, mungkin mata manusia mudah menangkapnya. Tapi momen Bagus menunggu sesuatu terjadi adalah hal yang menarik perhatian saya. Foto-foto Bagus bergerak di momen seperti itu, teks Bagus juga menjelaskan foto dengan kata benda, kerja dan sifat. Fotografi, setidaknya bagi Bagus, adalah momen yang ‘harus’ diabadikan. Kemampuan berpikir cepat dan kreatif seperti ini, dipantik oleh fotografi. Fotografi bergerak antara persiapan, pengetahuan visual, sudut pandang dan sedikit improvisasi.

           Foto Bagus kali ini menangkap detail: tumbuhan yang tumbuh di tempat yang tak terjangkau oleh tangan manusia. Bagus menulis begini untuk fotonya: sebuah drainase yang berlumut dan berbau campuran yang terdiri dari air hujan, lumpur, kotoran. Suara air yang mengenai daun. Ketika bagus menjelaskan tentang baunya—Bagus mencoba memanggil kembali benda-benda yang telah menyentuh drainase: masa lalu yang telah terjadi. Ternyata air hujan pernah singgah di sana, begitu pula lumpur dan juga kotoran. Pada foto kali ini, Bagus ingin menunjukkan pada kita hal-hal yang sulit dijangkau tangan dan mata manusia.

           Untuk menutup tulisan ini, saya ingin mengatakan bahwa saya senang mencoba. Pada materi Teks Deskripsi ini, saya merasa bahwa anak-anak lihai serta kreatif menuliskan kata benda, sifat dan kerja yang menggambarkan visual, bau, rasa, peraba dan suara. Pengalaman mereka berinteraksi dengan alam, dengan mata kamera serta dengan keterampilan menulis adalah pendekatan yang menarik sekaligus digandrungi dengan anak-anak. Saya jadi ingat ketika Akmal bertanya “Mr Titan, apakah boleh saya memotret ikan di kolam?” lalu saya terdiam, memikirkan bahwa gawai Akmal akan basah kalau saya izinkan dia melakukan keinginannya.

Setelah itu Akmal memanggil saya dan saya lihat bahwa Akmal memasukkan gawainya ke dalam plastik dan beginilah hasil dari cekrak-cekrek di kolam ikan itu…

Medan, 2024

*esai ini telah dipamerkan Indonesia Photo Fair [ditaja-kelola Sekelak Foto] di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Selatan.