Finlandia; tidak ada PR, benarkah?

550

Bincang Pendidikan Vol.3 By : Indah Hendrasari

“Finlandia : TANPA PR, Benarkah?”

Sebelum berangkat ke Finlandia, Saya punya segudang mitos tentang Finlandia. Termasuk salah satunya adalah kabar bahwa di Finlandia tidak ada PR. Saya tidak ada pikiran apa-apa karena saya membayangkan pastinya ada project pengganti PR ini, karena jika sekolah hanya sebentar, sedangkan target sekolah tinggi, maka PR akan menjadi hal yang tidak terelakkan. Akan tetapi, karena kadung populer mitos yang beredar di tanah air tentang Finlandia yang tidak ada PR, bahkan kabarnya karena ketiadaan PR ini membuat sistem pendidikan Finlandia menjadi yang terbaik,

Maka saya pun penasaran, bagaimana cara mereka mengelola ini. Dan tepat seperti perkiraan anda, Saya serasa kena ZONK saat mengetahui ternyata di Finlandia ada PR.

Persekolahan mereka masih memakai PR, persis PR di Indonesia yaitu mengerjakan soal. Tapi ada juga PR yang berupa project, itu sangat bergantung bagaimana pelajaran itu sendiri. Jadi tidak usah heran kalau mendapati anak Finlandia mengerjakan segempok PR di suatu waktu atau mendapati mereka kolaborasi dengan kawannya mengerjakan project bersama (kalau disini seperti kerja kelompok begitu),

Yang bikin kagum adalah siswa dan orangtua tidak memandang PR ini momok yang mengerikan ataupun sebagai beban yang harus di perdebatkan pagi sampe sore,ngalah2in debat pilpres. Bahkan sampai menghasilkan dua kubu yaitu kubu PR serta kubu non PR.

Anak merasa PR adalah kebutuhannya, orangtua memahami PR salah satu mekanisme guru membantu anaknya menguasai pelajaran. Sungguh suatu hubungan positif yang nyaman sekali.

Pemahaman bahwa tugas anak adalah tanggung jawab anak sudah diberikan sejak anak usia 1 tahun. Jika Anda adalah orangtua pekerja dan memasukkan anak Anda ke daycare, maka daycare Finlandia biasa melatih anak melakukan semua tugas anak sebagai tanggung jawab pribadi anak. Jangan bermimpi anak Anda bakal dilayanin kayak daycare disini, anak Anda akan mengerjakan semua sendiri tanpa di bantu. Kebayang kalau di Indonesia PAUD nya lakukan ini, contoh kecilnya pakai sepatu sendiri, yang gurunya sudah susah payah mengajak anak siap sedia tapi karena orangtua telat jemput atau karena anak mau ke kamar mandi hingga lepas sepatu, nah saat orangtua datang maka harus menunggu kembali anaknya pakai sepatu sendiri, maka orangtua ada yang sabar dan banyak yang ngamuk-ngamuk,Karena merasa waktunya hilang, padahal harusnya guru juga ngamuk, karena guru harus pulang larut sebab nambah jam kerja di sebabkan melatih kemandirian anak, tapi disini sejak kapan sih sisi guru juga di prioritaskan?  Semoga waktu itu tiba….

Membentuk rutinitas harian itu adalah gaya umum pendidikan anak Finlandia, baik guru maupun orangtua sepakat bahwa rutinitas belajar anak harus dibangun. Mereka sangat menyukai kestabilan dan keteraturan. Siswa Finlandia terbiasa dengan PR bahkan dari kelas 1 SD, jumlah PR dan muatan PR nya sangat bergantung terhadap progress anak, jadi guru Finlandia itu membuat PR bukan karena mereka tak sempat mengajar atau pun agar dianggap belajar dengan PR, melainkan PR sebagai ajang penguat saja karena sifatnya pengulangan, serta frekuensi pemberian PR pun beragam tergantung dari kebutuhan siswa. Jadi ada yang dapat PR mungkin segepok, ada yang tidak, tergantung KEBUTUHAN ANAK. Serta rata-rata PR anak sudah tahu cara mengerjakannya, jadi tidak terlalu merepotkan serta mudah dikerjakan. Permasalahan PR baru akan terasa jika anak belum bisa membaca, hingga akan membuat Orangtua membacakan untuk anak. Tapi kasus ini jarang terjadi, dari yang saya dapati dari sharing dengan Kepala Sekolah TK disana (Saya dapatnya lokasi Helsinky bisa jadi di sekolah Finlandia lainnya tidak sama, karena metode pembelajaran Finlandia ini tergantung zona dan misi sekolahnya), rata – rata anak mereka sudah bisa membaca sebelum masuk SD, adanya kelas persiapan satu tahun, sebab Finlandia ketat soal umur masuk sekolah.

7 tahun adalah angka yang tidak bisa ditawar, tidak akan ada solusi surat keterangan matang atau tidak matang dari psikolog. Karena rata-rata anak selepas TK sudah matang bersekolah, sebab Finlandia bukan hanya membangun sekolah tetapi membangun pendidikan. Saya yakin pastinya anda mulai mengira-ngira PR seperti apa yang diberikan kepada anak-anak kelas rendah ini?

PR Membaca, yup beneran karena tujuan PR diusia awal sekolah ini adalah anak lancar membaca dan suka membaca, maka karena itu meski di TK anak sudah bisa membaca, mereka di minta untuk mengulang membaca buku yang ditentukan atau pilih sendiri, dengan keterangan dan tandatangan Orangtua bahwa anaknya sudah membaca hari itu. Selain PR membaca ada juga PR seperti layaknya LKS atau workbook, pengerjaan ini sih bukan cuman dari SD kelas 1, anak – anak usia dini disana pun biasa saja mengerjakan woorkbook tanpa takut dicap gegas anak. Bahkan agar anak semangat mengerjakan workbook, para Guru tak segan memberikan reward kepada anak seperti memberikannya main ipad (yang isinya games edukatif, Finlandia memang memaparkan anak-anak dengan gadget sejak usia dini, sebab ada kompetensi ICT yang terangkum dalam kurikulum Finlandia). Tapi jangan mikir kejauhan ya, karena mendidik gaya Finlandia itu simple dan mendasar tapi sangat bertanggung jawab, menurut opini saya inilah menangnya mereka, dan ini ada step by stepnya,  tidak serta merta,

Ada prosedur ketat juga dalam penerapannya (karena kasus reward ini jika tidak mengikuti kaidah bisa malah “membunuh” alih-alih “motivasi”). Oia sekolah di Finlandia memakai zonasi, jadi anak – anak sekolah dekat dari rumah, mereka pulang pergi jalan kaki sendiri tanpa antar jemput, kebayang zaman kita dahulu sekolah pergi sekolah dekat rumah jalan kaki bareng kawan-kawan, begitu deh pemandangan disana, maka anak-anak berada sendirian di rumah setelah pulang sekolah (sebab orangtua bekerja) menjadi hal umum disana. Karena mereka pulang sekolah sendiri bareng kawan – kawan, maka terkadang mereka mengerjakan PR bersama sepulang sekolah, sebab teman sekolah juga teman dekat rumah, hmmm jadi rindu masa kecil dulu….

Maka apa yang di lakukan Orangtua terhadap PR anak?
Orangtua menguatkan apa yang sudah sekolah sampaikan bahwa PR adalah tugas anak, tanggung jawab anak bukan Orang tua. Karena itu fungsi Orang tua sebagai fasilitator dan pengawas saja, sangat dianjurkan tidak ikut membantu anak mengerjakan tugasnya. Lalu bagaimana jika anak kesulitan memahami materi pelajaran, sedangkan Orangtua tidak membantu?

Inilah kerennya Finlandia.
bener-bener SATU NEGARA yang MENGURUS ANAK, disana ada banyak tenaga sosial yang siap membantu anak-anak berkembang. Tentang masalah PR aja, biasanya ada semacam club belajar berisi para Volunteer yang siap membantu anak, uniknya para Volunteer ini bukan saja orang dewasa melainkan ada juga remaja. Keren kan mereka mengasah jiwa berkomunitas itu memang dari kecil, tanpa ribet….

Lalu bagaimana kita di Indonesia.
Kalau anak tidak paham bagaimana bisa kita tidak membantu?
Saya ada beberapa ide, tapi sebelumnya ijinkan saya mendengar ide anda yang telah membaca ini. Seketika saya teringat dengan sistem pendidikan Islam yang melahirkan orang – orang hebat, mereka ditempah dengan lelahnya belajar. Adab penuntut ilmu yang menghargai guru, serta menyadari bahwa belajar adalah tanggung jawab pribadi bukan tanggung jawab orangtua ataupun orang lain. Seketika sekelebat nasehat Imam Asy Syafi’i terlintas dibenak saya.

“Barangsiapa belum merasakan pahitnya belajar walau sebentar, Ia akan merasakan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya. Dan barangsiapa ketinggalan belajar di masa mudanya, maka bertakbirlah untuknya empat kali karena kematiannya. Demi Allah, hakekat seorang pemuda adalah dengan ilmu dan takwa.”

Bincang Pendidikan Vol.3
By Indah Hendrasari

#inspirasi_indah
#bincangpendidikan
#Finlandia
#SekolahtanpaPR
#lelahbelajar