Tahun Pertama Menjadi Guru Islamika – oleh Ms Aulia
“Ul, kamu tahun ajaran depan gabung ke SMP, ya”
Sejak mendengar kalimat itu, terlintas beberapa kekhawatiran. Menjadi guru SD tidak mudah, apalagi menjadi guru SMP. Sepertinya butuh effort. Effort yang lebih dari sekedar mengawal adab siswa, namun effort masuk ke dunia remaja dan menjadi remaja, serta mengenal batas guru-siswa. Di sisi lain, ini adalah tantangan baru dalam hidup saya yang membuat saya antusias. Kapanlagi mendapat wadah untuk mencoba selagi masih tweenty’s. Sebelum melanjutkan pilihan, ridha kedua orangtua adalah prioritas saya. Allah meridhoi dan orangtua saya juga meridhoi, bismillah saya setuju menjadi bagian dari tim SMP.
Sejak dua tahun lalu saya menjadi guru SD, guru SMP lebih akrab di pikiran saya dengan sebutan tim: jumlah mereka terbatas, terlihat kompak dan layaknya tim yang mendirikan proyek bersama. Terlihat lebih fleksibel namun saat itu saya tidak tertarik. Mengkaji ulang bahwa tahun ajaran depan saya akan menjadi bagian dari tim itu, saya mulai menata diri.
Tim SMP terbentuk setelah melalui RKT dan segala bentuk rapat yang panjang. Dengan jumlah guru yang saat itu hanya 6, kami memilih dan memilah jobdesk, terutama guru mata pelajaran. Dengan penampilan saya saat ini, memang meyakinkan semua orang untuk ikut andil menjadi guru islamika. Namun, itu hanya penilaian luar mereka saja. Jauh dalam diri saya, masa remaja saat ini dikelilingi dengan hingar bingar informasi yang mengubah akidah. Bahkan tak jarang, itu menjadi trending topik. Pikiran kalut dan kacau mulai datang: “gimana, ya, jadi guru islamika yang gak menekan namun menyadarkan?” “Nanti juga bisa, lihat ombaknya dulu.” Pertanyaan dan pernyataan terus mengusik sebelum hari H pembelajaran.
Tibalah hari H pembelajaran. Islamika dimulai dari materi tauhid rububiyah: mengajarkan dan melihat bukti sekeliling bahwa pencipta hanyalah satu. Sekilas, terlihat mudah. Namun yang ‘diperangi’ bukanlah mempercayai bahwa tuhan hanya ada satu, tetapi bagaimana praktisi tuhan hanya satu itu terlaksana dalam perilaku mereka. Dewasa ini, mempercayai tuhan hanya satu sudah menjadi hal yang pasti, namun beberapa penerapan tidak seperti itu. Contohnya sebagian masyarakat masih merasa perlu mengucapkan salam saat berada di tengah hutan dengan pohon yang tinggi. “Permisi, ya, aku numpang lewat aja. Jangan ganggu, ya” Bukan kita yang memulai hal ini, namun sebagian dari kita masih melakukannya. Saya membawakan hal ini sebagai contoh dalam penerapan tauhid rububiyah, dan ternyata benar, tidak hanya satu siswa yang mengatakan mereka pernah melakukannya, namun hampir 10 dari 20 siswa yang mana 10 lainnya bisa jadi merasa telah diwakilkan. Inilah PR saya selaku guru islamika. Beberapa contoh lain juga saya bawakan, seperti tragedi di Palu yang berawal dari perilaku warga setempat menghidangkan makanan bagi laut agar laut tidak marah dan selalu menyediakan makanan bagi mereka. Kemarahan Allah pun datang, bencana terjadi dengan catatan peristiwa relawan yang tidak mudah mendatangi lokasi kejadian. Hal yang sama terjadi di area lombok, saat para penduduknya tidak berusaha mengingatkan pendatang untuk tidak melakukan seks bebas di area terbuka, bencana Allah pun datang dan warga kesulitan mendapat pangan dan pakan dalam kurun waktu dua minggu pasca bencana.
Diskusi dan pertanyaan pun mengalir dengan seru, beragam pertanyaan menarik yang berisi pembenaran atau kesalahan atas hal yang telah dilakukan menjadi topik seru untuk didengar. Tak jarang, sebagian mereka ikut menjawab. Terbitlah pertanyaan mengenai khodam. Yah, hal itu sangat tenar belakangan ini; masuk ke siaran langsung orang tertentu untuk melakukan pengecekan mengenai khodam. Khodam dikenal sebagai penjaga yang berbentuk gaib, bisa jadi hewan atau jin. Tak jarang, khodam berasal dari benda-benda aneh; sendal jepit, kaos kaki, gayung, dan lain sebagainya. Aneh sekali. Lebih anehnya lagi, tidak sedikit yang mempercayainya. Bagaimana lah sendal jepit atau kaos kaki dapat menjaga dari marabahaya? Naudzubillah. Namun, bukan itu topik utamanya.
Sekilas, jika disebut menyembah patung atau berhala sangatlah syirik, lain dengan khodam , tidak disebut syirik oleh sebagian masyarakat. Padahal, ia satu jenis: mempercayai adanya pencipta selain Allah. Jika saya menjelaskan dengan cara ‘masa’ kaos kaki bisa ngelindungi kamu, bang’, kemungkinan pertanyaan berikutnya tentang khodam singa atau harimau yang memang cenderung lebih dipercaya bisa melindungi dibandingkan kaos kaki atau sandal jepit. Bukan, sesungguhnya bukan ini. Poin pentingnya adalah mempercayai adanya pelindung selain Allah. Jika mempercayai Allah sebagai satu-satunya tuhan, sudah sepantasnya kita berharap perlindungan kepada tuhan kita, Allah semata. Layaknya percaya kepada seorang teman, dia akan merasa dikhianati saat temannya meminta bantuan kepada teman lain disaat teman tersebut dapat membantunya. Layaknya anak dan orangtua, disaat orangtua mampu memberinya rumah namun ia memilih rumah keluarga lain. Permisalan tersebut alhamdulillah dapat diterima dan menjadi penutup kelas hari itu. Sesaat hendak menutup kelas, salah seorang siswa bertanya, “Ms, dari tadi bahas Allah, Allah itu dimana-mana ya Ms?” Wah, seru banget pertanyaannya bang. Tapi waktu Ms habis, kita lanjutkan pertemuan berikutnya, ya.” Sayang sekali, pertanyaan ini memang membuka ruang kejelasan tauhid rububiyah kedepannya.
Hari berlalu, materi islamika di tingkat berikutnya masih seputar akidah: materi Wala dan Bara’. Tak sering memang pembelajaran ini disampaikan, namun nyatanya ini sangat diperlukan. Setelah penyampaian materi Wala dan Bara’, tersebar info bahwa imam masjid istiqlal mencium kepala paus yang datang ke Indonesia. “Pas banget”, ucapku tengah malam itu sembari melihat cuitan di twitter. Contoh wala’ dan bara yang sudah saya berikan diantaranya sifat mudahanah dan mudarah. Mudahanah adalah sifat berpura-pura untuk kepentingan pribadi. Seperti contoh tidak menggunakan jilbab agar diterima oleh masyarakat banyak, menghalalkan khamar saat pesta agar tidak disebut si cupu, dan sebagainya. Mudarah adalah berlemah-lembut. Menolak ajakan yang tidak diperbolehkan dengan tutur kata yang lembut. Seperti saat diajak merokok atau pacaran atau HTS-an. Topik HTS ini yang menggelitik mereka. Ada yang mencari pandangan, ada yang menghindari pandangan. Rasanya ingin menggali lebih dalam, namun ini adalah pertemuan pertama. Menghindari menjadi guru yang saklek, saya memilih menasehati dengan lembut. Pembahasan pun beralih ke topik hubungan tanpa status. Mulai dari alasan kenapa itu dilarang, chatting dengan lawan jenis sampai sejauh mana sih batasannya, hingga persoalan seputar tarian tik tok (entah bagaimana topik ini keluar dengan sendirinya) kami bincangkan. Pembelajaran berlangsung diskusi hingga akhir waktu.
Ternyata, akhir-akhir ini saya menyadari mereka menyukai pembelajaran dengan tema diskusi, entah itu menyangkut pembelajaran saat itu ataupun masalah yang sedang terjadi dan trending di platform media sosial. Saya kembali mengingatkan diri saya sendiri, terkadang pembahasan yang mereka angkat berisi keingintahuan mereka tentang ajaran islam didalamnya namun terkadang (saya berpendapat) juga sebagai bentuk peralihan pembelajaran yang akan disampaikan. Cerdas dan cerdik memang.